Rabu, 08 April 2020

Refleksi: Teror Makhluk Tak kasat Mata


Teror Makhluk tak kasat mata.

Pandemi corona menghebohkan jagat raya. Ketakutan, kepanikan dan keputus asaan hampir menyelimuti manusia di muka bumi ini. Makhluk tak kasat mata ini berhasil memporanporandakan tatanan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Berapa banyak negera-negara maju yang harus menggelontorkan dana tak terhitung untuk menangkis pandemi ini. Mereka mati-matian melindungi rakyatnya agar tidak terkena pandemi ini.

Kegiatan ekonomi lumpuh. Pembatasan warga umtuk beraktifitas diluar membuat kegiatan ekonomi tidak berjalan dengan semestinya. Ekonomi level atas mulai goyah. Mall tutup kerena sepi pengunjung. Pabrik-pabrik meliburkan karyawannya. Pasar tradisional mulai berkurang pengunjungnya. Para abang-abang penjual jajanan dan makanan yang biasa berkeliling komplek, tidak bisa masuk kegang-gang perumahan. Tiap gang perumahan menutup akses masuk dengan menutup portal. Otomatis kegiatan ekonomi level bawah terhenti. Kasihan, melihat abang-abang yang memikul dagangannya. Dia hanya berputar-putar, bolak-balik komplek tanpa ada seorangpun yang mau membeli. Alasannya apalagi kalau bukan takut terpapar virus corona. Padahal belum tentu mereka pembawa virus ini. Tapi mungkin, karena ada pejabat yang mengatakan bahwa orang miskin harus menjaga orang kaya agar tidak tertular wabah pandemi ini. Otomatis stigma itu akhirnya menempel pada mereka. Dan akibatnya untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan.
Bagi orang kaya, membeli bahan makanan dengan berlebihan bukan masalah bagi mereka. Bahkan diawal-awal pandemi ini menyerang Indonesia, mereka berbondong-bondong datang ke pasar swalayan dan menghabiskan stok barang yang ada. Miris...sementara diluar sana, banyak orang membutuhkan bahan-bahan makanan tersebut. Mereka justru menimbunnya. Tidak salah kemudian, salah satu artis ibukota”Aming” mengatakan bahwa bisa jadi saudara-saudara kita mati bukan karena virus ini tapi disebabkan nmereka kelaparan karena tidak ada bahan makanan.  Betul bahwa pembelian barang dapat dilakukan secara online. Disnilah diperlukan kepedulian dan kesadaran dari orang-orang kaya untuk membantu saudaranya yang miskin.

Sosialisasi antar warga secara fisik mulai terbatasi. Tidak ada salaman. Tidak adalagi cipika-cipiki. Tidak adalagi tos-tosan. Yang ada hanyalah jaga jarak aman. Satu sampai dua meter. Kayak kopaja....heheheh. Tegur sapa dengan tetangga dilakukan melalui teras rumah masing-masing. Sepi menyeruak bila malam menghampiri. Bila  ada yang terkena batuk dan flu sudah parno duluan. Disangka sudah terinfeksi dan takut tertular.


Dunia pendidikanpun terkena imbasnya. Peserta didik disuruh belajar di rumah. Guru-guru sibuk menyiapkan materi daring. Peserta didik stres, karena banyak mendapat tugas dari guru yang gagap teknologi. Orangtua pusing mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Mereka mulai sadar betapa susahnya menjadi guru. Meraka harus mengeluarkan “tanduk” dulu untuk menyiapkan anak-anaknya belajar. Kemarin kemana ajaaaa? mak, encang, encing, enyak, babeh. Kok baru nyadar sekarang. Heheheh....

Sementara pemerintah juga sibuk untuk mencari cara efektif selanjutnya agar pandemi ini tidak terus menyebar. Mereka berusaha memberikan arahan kepada masyarakat walau kadang terkesan blunder. Satu pejabat mengatakan A, kemudian diralat pejabat B, dan akhirnya disimpulkan pejabat C. Ketegasan pemerintah untuk menjalankan program-program pencegahan, kadang ditanggapi sebelah mata oleh sebagaian masyarakat. Mungkin komunikasi yang ga nyambung. Atau mungkin karena masyarakat indonesia yang ga mau berdisiplin dengan program yang sudah dibuat pemerintah. Akibatnya sudah bisa dipastikan, keinginan hanya tinggal keinginan. Program-tinggal program semuanya ga ada efeknya. Semakin hari, semakin bertambah korban pandemi ini.

Dari segi keagamaan juga terjadi perbedaan pandangan hukum. Salat berjamaah yang semula menjadi rutinitas muslim yang taat, kini mulai dibatasi. Bahkan sebagian wilayah sudah tidak memperbolehkan melaksankan salat berjamaah di masjid. Tidak hanya salat lima waktu yang tidak bolah berjamaah, pelaksanaan salat jumat juga ditiadakan dan diganti dengan salat zuhur di rumah. Banyak ummat Islam yang protes. Dan para ulamapun, termasuk MUI, berusaha memberikan penjelasan tentang diperbolehkannya tidak melaksanakan salat berjamaah dan salat jum’at. Dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki, mereka sampaikan dalil aqli dan dalil naqli tentang diperbolehkannya salat dirumah dan mengganti salat jumat dengan salat zuhur melalui media sosial, Youtube, WA,  dan lain-lain.

Lag-lagi sebagian ummat Islam, tetap dengan pendiriannya.  Mereka tetap melaksanakan salat berjamaah dimasjid dan juga melaksanakan salat jumat. Tentu dengan dalil-dalil yang mereka sampaikan juga. Dan tidak ada yang salah dengan mereka. Karena mereka menganggap bahwa wilayahnya bukanlah zona merah.

Akhirnya marilah kita berikhtiar sekuat tenaga agar kita terhindar dari pandemi yang sedang menyerang bangsa Indonesia ini. Sebagai orang beriman, kita yakin bahwa dibalik semua ini Allah pasti mepunyai rencana yang indah. Allah sedang menguji kita agar kita menjadi orang-orang yang tawakkal. Yang selalu menggantunggantungkan seluruh hidup dan kehidupannya hanya kepada Allah. Allah menginginkan agar kita menjadi orang-orang yang ahsanu ‘amala. Orang yang paling baik amalnya. Sebagaimana terdapat dalam surat al Mulk ayat dua.

Semoga Allah segera menghilangkan pandemi ini dari bumi Nusantara dan menjadikan Indonesia sebagai baldatun toyyibatun warabbun ghafur.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar