Teror Makhluk
tak kasat mata.
Pandemi corona menghebohkan jagat raya. Ketakutan, kepanikan
dan keputus asaan hampir menyelimuti manusia di muka bumi ini. Makhluk tak
kasat mata ini berhasil memporanporandakan tatanan, sosial, budaya, ekonomi dan
politik. Berapa banyak negera-negara maju yang harus menggelontorkan dana tak
terhitung untuk menangkis pandemi ini. Mereka mati-matian melindungi rakyatnya
agar tidak terkena pandemi ini.
Kegiatan ekonomi lumpuh. Pembatasan warga umtuk beraktifitas
diluar membuat kegiatan ekonomi tidak berjalan dengan semestinya. Ekonomi level
atas mulai goyah. Mall tutup kerena sepi pengunjung. Pabrik-pabrik meliburkan
karyawannya. Pasar tradisional mulai berkurang pengunjungnya. Para abang-abang
penjual jajanan dan makanan yang biasa berkeliling komplek, tidak bisa masuk kegang-gang
perumahan. Tiap gang perumahan menutup akses masuk dengan menutup portal. Otomatis
kegiatan ekonomi level bawah terhenti. Kasihan, melihat abang-abang yang
memikul dagangannya. Dia hanya berputar-putar, bolak-balik komplek tanpa ada seorangpun
yang mau membeli. Alasannya apalagi kalau bukan takut terpapar virus corona.
Padahal belum tentu mereka pembawa virus ini. Tapi mungkin, karena ada pejabat
yang mengatakan bahwa orang miskin harus menjaga orang kaya agar tidak tertular
wabah pandemi ini. Otomatis stigma itu akhirnya menempel pada mereka. Dan
akibatnya untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan.
Bagi orang kaya, membeli bahan makanan dengan berlebihan
bukan masalah bagi mereka. Bahkan diawal-awal pandemi ini menyerang Indonesia,
mereka berbondong-bondong datang ke pasar swalayan dan menghabiskan stok barang
yang ada. Miris...sementara diluar sana, banyak orang membutuhkan bahan-bahan
makanan tersebut. Mereka justru menimbunnya. Tidak salah kemudian, salah satu
artis ibukota”Aming” mengatakan bahwa bisa jadi saudara-saudara kita mati bukan
karena virus ini tapi disebabkan nmereka kelaparan karena tidak ada bahan
makanan. Betul bahwa pembelian barang
dapat dilakukan secara online. Disnilah diperlukan kepedulian dan kesadaran
dari orang-orang kaya untuk membantu saudaranya yang miskin.
Sosialisasi antar warga secara fisik mulai terbatasi. Tidak
ada salaman. Tidak adalagi cipika-cipiki. Tidak adalagi tos-tosan. Yang ada hanyalah
jaga jarak aman. Satu sampai dua meter. Kayak kopaja....heheheh. Tegur sapa
dengan tetangga dilakukan melalui teras rumah masing-masing. Sepi menyeruak
bila malam menghampiri. Bila ada yang
terkena batuk dan flu sudah parno duluan. Disangka sudah terinfeksi dan takut tertular.
Dunia pendidikanpun terkena imbasnya. Peserta didik disuruh
belajar di rumah. Guru-guru sibuk menyiapkan materi daring. Peserta didik
stres, karena banyak mendapat tugas dari guru yang gagap teknologi. Orangtua
pusing mendampingi anak-anaknya belajar di rumah. Mereka mulai sadar betapa
susahnya menjadi guru. Meraka harus mengeluarkan “tanduk” dulu untuk menyiapkan anak-anaknya belajar. Kemarin kemana ajaaaa? mak, encang, encing, enyak, babeh. Kok
baru nyadar sekarang. Heheheh....
Sementara pemerintah juga sibuk untuk mencari cara efektif
selanjutnya agar pandemi ini tidak terus menyebar. Mereka berusaha memberikan
arahan kepada masyarakat walau kadang terkesan blunder. Satu pejabat mengatakan
A, kemudian diralat pejabat B, dan akhirnya disimpulkan pejabat C. Ketegasan
pemerintah untuk menjalankan program-program pencegahan, kadang ditanggapi
sebelah mata oleh sebagaian masyarakat. Mungkin komunikasi yang ga nyambung. Atau
mungkin karena masyarakat indonesia yang ga mau berdisiplin dengan program yang
sudah dibuat pemerintah. Akibatnya sudah bisa dipastikan, keinginan hanya
tinggal keinginan. Program-tinggal program semuanya ga ada efeknya. Semakin
hari, semakin bertambah korban pandemi ini.
Dari segi keagamaan juga terjadi perbedaan pandangan hukum. Salat
berjamaah yang semula menjadi rutinitas muslim yang taat, kini mulai dibatasi.
Bahkan sebagian wilayah sudah tidak memperbolehkan melaksankan salat berjamaah
di masjid. Tidak hanya salat lima waktu yang tidak bolah berjamaah, pelaksanaan
salat jumat juga ditiadakan dan diganti dengan salat zuhur di rumah. Banyak
ummat Islam yang protes. Dan para ulamapun, termasuk MUI, berusaha memberikan
penjelasan tentang diperbolehkannya tidak melaksanakan salat berjamaah dan
salat jum’at. Dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki, mereka sampaikan
dalil aqli dan dalil naqli tentang diperbolehkannya salat dirumah dan mengganti
salat jumat dengan salat zuhur melalui media sosial, Youtube, WA, dan lain-lain.
Lag-lagi sebagian ummat Islam, tetap dengan pendiriannya. Mereka tetap melaksanakan salat berjamaah dimasjid
dan juga melaksanakan salat jumat. Tentu dengan dalil-dalil yang mereka
sampaikan juga. Dan tidak ada yang salah dengan mereka. Karena mereka
menganggap bahwa wilayahnya bukanlah zona merah.
Akhirnya marilah kita berikhtiar sekuat tenaga agar kita
terhindar dari pandemi yang sedang menyerang bangsa Indonesia ini. Sebagai
orang beriman, kita yakin bahwa dibalik semua ini Allah pasti mepunyai rencana
yang indah. Allah sedang menguji kita agar kita menjadi orang-orang yang
tawakkal. Yang selalu menggantunggantungkan seluruh hidup dan kehidupannya
hanya kepada Allah. Allah menginginkan agar kita menjadi orang-orang yang ahsanu
‘amala. Orang yang paling baik amalnya. Sebagaimana terdapat dalam surat al
Mulk ayat dua.
Semoga Allah segera menghilangkan pandemi ini dari bumi
Nusantara dan menjadikan Indonesia sebagai baldatun toyyibatun warabbun
ghafur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar