Kamis, 09 April 2020

Cerpen: Perempuan di Ujung Senja


Perempuan di Ujung Senja
Diujung senja bersama lembayung merah yang indah, kutunggui harapan yang masih tersisa. Terselip sejuta asa yang masih menggantung di langit-langit senja. Seperti baru kemarin aku masih berada dalam belaiannya. Sejatinya perasaan yang amat sangat wajar dan manusiaw, bila kenangan itu kembali menggelayuti rasaku. Aku sadar benar, rasa sakit dan kecewa itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena harapan tinggi yang telah kugantungkan sendiri.

Aku sudah berusaha memahami tentang banyak hal. Merubah, menerima, memahami, dan membuatnya bahagia. Aku berjuang untuk mendapatkan asa tentangmu. Dia menggelayuti dalam derap langkahku, detak jantungku dan helaan nafasku. Zikirku seakan dirimu. Hilang sudah aku ku dalam dirimu.

Kini jatuhku membawa luka. Kenangan dan sisa-sisa asa itu membuatku tersungkur dalam nestapa. Imajinasikupun tak sanggup merangkai kata kedukaanku. Aku tak sanggup menangkap sinyal bahagia yang menghampiriku. Pikirku betapa harap itu tak selalu terwujud. Bayu yang mendekat tak kuanggap pesona. Kesejukan belaiannya tak mampu meruntuhkan dukaku. Ternyata harapku tak berbanding lurus dengan mampuku. Aku tertekan, lemas, dan lumpuh asa.Tiap lakukumengarahkan pada kegagalan. Mampuku tak wujud.  

Aku mati dalam sajak penyesalan. Pikirku hidup memang tak lepas dari masalah. Hidup bagikan pedal sepedah yang dikayuh. Kadang diatas dan kadang dibawah. Semangatku terusik. Ketika gemuruh ombak batin tak menentu dan kita merasa kehilangan harapan dan daya, berpikirlah bahwa: "Apakah keterpurukan adalah akhir perjalanan hidup?". Begitu kata Avanty, desainer kondang papan atas indonesia.     


Aku berjuang untuk bertahan. Hidupku tidak hanya sampai disini.Kalaupun asaku hilang tertelan duka, aku harus mengubahnya menjadi tekad: “Aku bisa merubahnya lebih baik”. Aku perempuan dititik nol. Aku harus bersyukur bahwa Allah masih memberiku kehidupan. Mungkin inilah cara Allah untuk mengurku. Aku terngiang-ngiang perkataan Stephen Hawking: “Andaikan harapan seseorang diturunkan hingga titik nol, orang akan benar-benar menghargai semua yang dia miliki saat ini". Aku baru sadar, aku punya Tuhan.

Saatnya bersimpuh dihadapanNya. Bersyukur atas nikmatNya. Serahkan jiwa raga, ikhlas terhadap asa yang tersisa. Aku hanya bisa berharap, Allahlah penentunya. Ku kembalikan diriku ke titik nol. Ku sisir kembali masa laluku, banyak sudah yang kucapai. Allah begitu baik terhadapku. Aku tak boleh patah arang. Aku sadar setiap orang ditakdirkan menghadapi masalah dan bahagia yang berbeda-beda. Memaafkan bukan hanya memberi maaf kepada orang lain, tapi juga berdamai dengan diri sendiri. 

Kini Matahariku tenggelam, terbungkus gelap gulita. Malam merayap kelam dan pekat. Lusa ada harap dia akan membangunkanku dengan kehangatan cahayanya. Dan sampai hari ini, dipenghujung senja aku masih setia dengan penantian itu.


5 komentar: