Minggu, 12 April 2020

Cerpen: Menjemput Asa

Menjemput Asa

“Jangan sok-sok an deh, kamu kan hanya anak penjual atap rumbia “
Begitu kata tetangga yang terkenal paling kaya di daerahku. Rumahnya berbeda dengan tetangga sebelah kiri, kanan, depan dan belakangnya. Rumah bercat biru dengan ornamen modern itu berdiri gagah menjulang tinggi diantara gubuk-gubuk reot disekelilingnya. Halaman yang luas, dipenuhi dengan taman bunga yang tertata rapi. Di garasinya yang luas berjejer bebrapa mobil mahal dari Yaris s, fortuner dan alfard. Belum lagi motor yang diperuntukann bagi anak-anaknya yang masih sekolah di SMP dan SMA.

Rumahku dan rumahnya terpisah oleh jalan raya Balaraja Kronjo. Satu-satunya akses yang dapat menghubungkan transportasi dari desaku menuju kota. Jalan inilah yang dijadikan orangtuaku untuk mengangkut atap rumbia yang telah dipesan oleh pelanggannya. Biasanya ayah mengantarkan pesanan atap rumbia setelah menjual sayur hasil beruhun di sawah tetangga. Kadang ayahku menjadi penjual buah-buahan yang dibeli dari para pemilik pohon buah-buahan di sekitar kampungku. Dan dijalan ini pulalah setiap hari aku harus berdiri menunggu kendaraan umum yang mau mengangkut anak sekolah dengan bayaran yang sangat murah. Seratus rupiah sekali jalan.

“Gak  mungkin kamu bisa sekolah  di Manba’ul Hikmah”. lanjutnya

Darahku mendidih, dadkubergemuruh. Kutahan tetesan air yang mulai merembes diantara ujung mataku. Tekadku membulat untuk membuktikan bahwa aku dapat mewujudkan cita-citaku bersekolah disana. Sekolah ini adalah sekolah swasta yang berada di lain kecamatan dengan tempatku tinggal. Sekolah dan seklaigus pesantren ini, terletak di kecamatan kresek. Tepatnya di desa Renged. Desa yang asri, sejuk penuh dengan pemandangan sawah yang indah. Ia menjadi tujuan bagi orang-orang yang ingin mendapatkan ilmu agama dan ilmu umum dengan paripurna.
Yayasan ini dikelola oleh dua orang kiyai, kakak beradik yang disegani dikabupaten tangerang. Beliau adalah KH. Mahmud Nawawi dan KH Qolyubi. Mereka masih keturuan ulama Banten yang terkenal di dunia internasional, yaitu Syeikh Nawawi al Bantani. Banyak anak-anak berasal dari provinsi lain juga. Ada yang dari Lampung, Palembang bahkan Jakarta yang katanya menjadi tempat pavorit untuk menuntut ilmu. Waktu itu, aku memang baru lulus SD dan ingin meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama.

Di desaku, jarang sekali anak-anak yang meneruskan sekolah setelah lulus SD. Mereka akan membantu orangtua membajak sawah, atau meneruskan ke pendidikan non formal yaitu pesantren. Bagi yang perempuan kadang dua atau tiga tahun setelah lulus Sekolah Dasar, mereka langsung dinikahkan oleh orangtuanya. Pendidikan formal adalah nomor ke 100 dan tidak dianggap penting.

Aku mengemukakan niat kepada ayahku bahwa aku ingin meneruskan ke sekolah menengah pertama negeri di kecamatanku. Aku berfikir, kalau disekolah negeri, maka bayarannya juga akan murah. Setidaknya mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan ayah. Tapi ayah menolaknya, dan menginginkan aku supaya masuk ke sekolah dan sekaligus pesantren. Dan jatuhlah pilihan ayah ke sebuah sekolah sekaligus peasntren Yayasan Manba’ul Hikmah. Sekolah dan pesantren yang cukup terkenal dan mempunyai peserta didik yang jumlahnya ribuan. Baiaya yang dikeluarkanpun agak mahal, bila dibandingkan dengan sekolah negeri. Tapi ayah meyakinkanku bahwa, kalau aku serius ingin sekolah disana, sampai daraha penghabisan ayah mencari uang untuk membiayai pendidikanku.

Namaku Heri. Aku dilahirkan di sebuah desa yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani tadah hujan......(bersambung)
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar