Menjemput Asa
“Jangan sok-sok an deh, kamu kan hanya anak penjual atap
rumbia “
Begitu kata tetangga yang terkenal paling kaya di daerahku.
Rumahnya berbeda dengan tetangga sebelah kiri, kanan, depan dan belakangnya.
Rumah bercat biru dengan ornamen modern itu berdiri gagah menjulang tinggi
diantara gubuk-gubuk reot disekelilingnya. Halaman yang luas, dipenuhi dengan
taman bunga yang tertata rapi. Di garasinya yang luas berjejer bebrapa mobil
mahal dari Yaris s, fortuner dan alfard. Belum lagi motor yang diperuntukann
bagi anak-anaknya yang masih sekolah di SMP dan SMA.
Rumahku dan rumahnya terpisah oleh jalan raya Balaraja
Kronjo. Satu-satunya akses yang dapat menghubungkan transportasi dari desaku
menuju kota. Jalan inilah yang dijadikan orangtuaku untuk mengangkut atap
rumbia yang telah dipesan oleh pelanggannya. Biasanya ayah mengantarkan pesanan
atap rumbia setelah menjual sayur hasil beruhun di sawah tetangga. Kadang
ayahku menjadi penjual buah-buahan yang dibeli dari para pemilik pohon
buah-buahan di sekitar kampungku. Dan dijalan ini pulalah setiap hari aku harus
berdiri menunggu kendaraan umum yang mau mengangkut anak sekolah dengan bayaran
yang sangat murah. Seratus rupiah sekali jalan.
“Gak mungkin kamu
bisa sekolah di Manba’ul Hikmah”.
lanjutnya
Darahku mendidih, dadkubergemuruh. Kutahan tetesan air yang
mulai merembes diantara ujung mataku. Tekadku membulat untuk membuktikan bahwa
aku dapat mewujudkan cita-citaku bersekolah disana. Sekolah ini adalah sekolah
swasta yang berada di lain kecamatan dengan tempatku tinggal. Sekolah dan
seklaigus pesantren ini, terletak di kecamatan kresek. Tepatnya di desa Renged.
Desa yang asri, sejuk penuh dengan pemandangan sawah yang indah. Ia menjadi
tujuan bagi orang-orang yang ingin mendapatkan ilmu agama dan ilmu umum dengan
paripurna.
Yayasan ini dikelola oleh dua orang kiyai, kakak beradik yang
disegani dikabupaten tangerang. Beliau adalah KH. Mahmud Nawawi dan KH Qolyubi.
Mereka masih keturuan ulama Banten yang terkenal di dunia internasional, yaitu
Syeikh Nawawi al Bantani. Banyak anak-anak berasal dari provinsi lain juga.
Ada yang dari Lampung, Palembang bahkan Jakarta yang katanya menjadi tempat
pavorit untuk menuntut ilmu. Waktu itu, aku memang baru lulus SD dan ingin meneruskan
ke Sekolah Menengah Pertama.
Di desaku, jarang sekali anak-anak yang meneruskan sekolah
setelah lulus SD. Mereka akan membantu orangtua membajak sawah, atau meneruskan
ke pendidikan non formal yaitu pesantren. Bagi yang perempuan kadang dua atau
tiga tahun setelah lulus Sekolah Dasar, mereka langsung dinikahkan oleh
orangtuanya. Pendidikan formal adalah nomor ke 100 dan tidak dianggap penting.
Aku mengemukakan niat kepada ayahku bahwa aku ingin meneruskan
ke sekolah menengah pertama negeri di kecamatanku. Aku berfikir, kalau
disekolah negeri, maka bayarannya juga akan murah. Setidaknya mengurangi beban
biaya yang harus dikeluarkan ayah. Tapi ayah menolaknya, dan menginginkan aku
supaya masuk ke sekolah dan sekaligus pesantren. Dan jatuhlah pilihan ayah ke
sebuah sekolah sekaligus peasntren Yayasan Manba’ul Hikmah. Sekolah dan
pesantren yang cukup terkenal dan mempunyai peserta didik yang jumlahnya
ribuan. Baiaya yang dikeluarkanpun agak mahal, bila dibandingkan dengan sekolah
negeri. Tapi ayah meyakinkanku bahwa, kalau aku serius ingin sekolah disana,
sampai daraha penghabisan ayah mencari uang untuk membiayai pendidikanku.
Namaku Heri. Aku dilahirkan di sebuah desa yang kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani tadah hujan......(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar