Sebagai makhluk sosial kita
tentunya tidak bisa hidup sendiri, perlu adanya interaksi antar sesama.
Kita hidup perlu bantuan orang lain, nasihat orang lain, dan sebagainya. Maka
dari, itu kita harus melakukan kebaikan untuk orang lain meski orang tersebut
tidak melakukannya. Bahkan ketika mereka melakukan hal yang buruk. Memang ada
beberapa permasalahan mengenai perilaku orang lain terhadap diri kita
yang kurang menyenangkan. Hal itu membuat kita enggan untuk membantunya
ketika dia memerlukan bantuan. Namun, perilaku tersebut bukanlah perilaku
seorang muslim, karena muslim yang baik tentu tidak akan membiarkan saudaranya
menderita. Perilaku seseorang yang buruk memang membuat kesal, biasanya kita
melakukan hal yang sama terhadap orang tersebut dalam artian kita tidak
membalasnya dengan perilaku yang baik. Namun, meski orang lain berbuat
semana-mena, kita harus tetap membalasnya dengan kebaikan. Hal ini dijelaskan
dalam hadits:
وَطِّنُوا أنفُسَكُم إن أحسَنَ النَّاسُ أَن تُحسِنُوا وَإِن
أَسَاءُوا فَلاَ تُظلِمُوا
“Mantapkanlah diri
kalian! Jika orang lain berbuat baik maka balas kebaikan juga, dan jika mereka
berbuat jahat maka janganlah kalian berlaku dzalim.” ( HR Imam Tirmidzi)
Sebagaimana dijelaskan
dalam hadits diatas, maka kita harus tetap berbuat baik meski orang tersebut
melakukan perbuatan buruk terhadap diri kita. Jika kita membalasnya dengan
perilaku yang sama, maka kita tidak lain termasuk orang yang sama dengannya.
Imam Syafi’i mengatakan:
إنك لاتقدر أن ترضي الناس كلهم، فأصلح ما بينك وبين الله، ولاتبال
بالناس
Yang artinya :
“Sesungguhnya engkau
tidak akan mampu membuat semua manusia senang, maka perbaikilah hubungan antara
diri kita dengan Allah, dan jangan pedulikan apa kata manusia.”
Sebagai manusia kita
tidak bisa memprediksi atau mengatur perilaku orang lain terhadap diri kita.
Rasulullah SAW yang merupakan manusia paling mulia selalu rendah hati, berbuat
baik kepada semua orang tetap ada yang berlaku semena-mena kepadanya. Hal
itu tentunya patut kita contoh dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Denagn
begtu, kita akan menjadi pribadi yangrendah hati dan suka menolong.
Hadirin Rahimakumullah
Pada dasarnya segala
yang kita lakukan itu untuk diri kita sendiri bukan untuk orang lain,
sebagaimana yang diterangkan dalam Al-Qur’an:
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ
فَلَهَاۗ
Artinya : “Jika kamu
berbuat baik (berarti) kebaikan itu untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat
jahat maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri”. (Q.S Al-Isra : 7).
Jadi intinya sebagai
manusia yang baik tetaplah berbuat baik kepada orang lain, meski orang tersebut
tidak memperlakukan hal baik kepada kita. Jangan pernah surut untuk berbuat baik
dan menjadi orang baik. kita tentu pernah merasa kesal ketika niat baik kita malah disambut buruk oleh orang lain. Kita Pernah
merasa sedih saat kebaikan tak dihargai sama sekali. Ya.. itulah hidup. Kadang
berjalan tak sesuai dengan harapan. Ada realitas yang harus kita terima meski
itu pahit. Tidak semua niat baik kita
akan disambut dengan baik oleh orang lain. Tak semua kebaikan kita akan dibalas
dengan kebaikan yang sama. Bahkan senyuman kita bisa jadi dibalas dengan
tatapan sinis. Namun, berbuat baik tak harus selalu dikaitkan dengan penilaian
orang lain.
Perlakukan
semua orang dengan sopan dan baik, bukan karena mereka baik, tapi karena Anda
memang baik.” – Roy T. Bennett, Cahaya di Hati
Berbuat
baiklah karena semata-mata kita memang orang baik. Tak harus menunggu balasan
kebaikan yang sama. Tak perlu mengharapkan pujian atau balasan besar. Kita
berbuat baik karena kita memang ingin menebarkan kebaikan. Bukan untuk
mendapatkan pujian atau balasan kebaikan yang sama. Karena apa? Karena Berbuat
Baik adalah Sebuah Laku Hidup yang Bisa Menghadirkan Ketenangan
Jika
kita memiliki kebaikan di hati, maka dia akan melahirkan tindakan kebaikan
untuk menyentuh hati orang lain ke mana pun dan dimanapun kita berada. Entah itu dilakukan secara acak
atau direncanakan. Kebaikan menjadi cara hidup. Kita hidup di dunia ini hanya
sementara. Karena sifatnya yang sementara itu, maka kita pun perlu memilih laku
hidup yang tepat. Salah satunya adalah dengan berbuat baik di situasi apa pun,
kapan pun, dan di mana pun. Berbuat baik bisa mendatangkan ketenangan dan
kenyamanan untuk hidup diri sendiri. Tak perlu mencemaskan atau mengkhawatirkan
penilaian orang lain, sebab tidak semua orang perlu paham akan situasimu.
"Tidak
perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak
butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." ( Ali Bin Abi
Thalib).
Hadirin
rahimakumullah
Kebaikan
dan keburukan merupakan dua perilaku yang sangat bertentangan satu sama lain.
Kadang suatu kehidupan ada yang dominan kebaikannya ada juga yang dominan
keburukannya. Begitupun kehidupan yang ada di masyarakat, ada yang baik ada
juga yang buruk. Meski semua manusia
memiliki kebaikan dan keburukan, akan tetapi lebih dominan yang mana ia
berperilaku. Karena memang hidup tidak selalu berbanding lurus dengan firman
Allah swt dan ajaran Rasulullah saw. Itulah
kenapa di muka bumi selalu diutus seorang Rasul dari satu generasi ke generasi
lainnya, karena tidak semua manusia berprinsip dan berperilaku sesuai firman
Allah dan ajaran Rasul-Nya. Atau bisa dikatakan menyimpang dan memiliki
perangai yang buruk. Rasulullah saw saja, seorang Nabi, yang hidupnya dijaga
dari dosa (ma’sum) serta tidak pernah dzalim terhadap keluarga, tetangganya dan
teman-temannya, tetap memiliki pembenci dan penentang, tetap dimusuhi, apalagi
umatnya yang sekarang, yang jelas-jelas tidak ma’sum sering melakukan kesalahan
baik di sengaja ataupun tidak. Terkadang,
kita ini ragu untuk berbuat baik kepada sesama manusia karena masih memiliki
perasaan untung dan rugi. Padahal kebaikan jika tidak bersinar waktu itu juga,
maka akan bersinar suatu hari nanti. Seperti Rasulullah saw yang mendakwahkan
Islam di sekitar Jazirah Arab kala itu, dengan semangat dan sungguh-sungguh,
maka buah dari dakwahnya yakni Islam hampir tersebar di seluruh penjuru dunia
saat ini.
Hadirin
Rahimakumullah
Tidak
jarang terjadi di masyarakat, banyak kiai atau ustaz atau apalagi manusia awam yang
minder untuk berdakwah dan mengingatkan kebaikan kepada orang lain, karena
mungkin anaknya, istrinya, dan saudaranya masih ada yang menyimpang dan
bermaksiat juga. Ketika kiai berdakwah, mengingatkan anak atau orang lain yang
tidak shalat atau mabuk, kadang jawaban dari tetangga juga sangat menusuk,
ngapain ngurusin anak orang, kalau anaknya atau keluarganya sendiri juga ahli
maksiat. Jika mental kiai tersebut sangat lemah, dia akan berhenti berdakwah
hingga akhir hayatnya.
Padahal
yang dicontohkan oleh Rasulullah tidak begitu, dakwah tetaplah dakwah, dan
menebarkan kebaikan tidak pandang bulu. Jika kita membaca sejarah Nabi Muhammad
ketika berdakwah, apakah semua keluarganya mengikuti Nabi? Jawabannya tidak.
Karena masih ada pamannya, Abu Jahal dan istrinya yang menentang keponakannya.
Ada juga pamannya yang lain, Abu Thalib, meski tidak memusuhi Nabi, akan tetapi
enggan masuk Islam. Bahkan anak dan isteri nabi nuh juga menjadi penentang
dakwah nabi nuh.
Kita
tidak boleh berhenti berdakwah dan pesimis dengan takdir, karena jiwa dan hati
manusia selalu berubah-ubah. Hari ini membangkang, besok sadar, hari ini ahli
maksiat, bulan esoknya menjadi ahli ibadah. Itulah rahasia Allah yang tidak
akan pernah bisa terbaca oleh manusia. Mari menjelang puasa rmadha ini kita lakukan
dan kumpulkan perbuatan-perbuatan baik, untuk bekal kehidupan kita nanti